Melayu yang identik
dengan agama, bahasa, dan adat-istiadat merupakan integritas yang solid.
Agaknya Bahasa menjadi lebih dulu muncul sebagai salah satu identitas
budaya melayu, ia lahir seiring dengan perkembangan budayanya. Bahasa
melayu menjadi lingua franca di Nusantara, kini menjadi bahasa
Indonesia. Bahasa itu sudah menyebar lewat imperium Sriwijaya, Imperium
Melayu Jambi, bahkan Pagaruyung. Namun imperium itu pudar oleh serangan
Majapahit sampai 1365, Serangan tersebut menyebabkan Parameshawara
hijrah dari Palembang ke Malaka, Tetapi bahasa melayu itu sudah
berintegrasi ke wilayah yang pernah diduduki Sriwijaya.
Parameshwara telah membawa bahasa dan adat istiadat tersebut hijrah
ke Malaka kemudian mendirikan imperium Melayu Malaka tahun 1400 maka
penyebaran bahasa, adat istiadat bahkan Agama Islam. Penyebaran budaya
melayu ini mulai dari Pesisir Timur Sumatera, Kalimantan, Semenanjung
Malaya hingga Patani (Thailand) penyebaran bahasa ini yang kemudian oleh
orang barat, bahwa orang yang mendiami Nusantara ini di sebut orang
melayu.
Penyebaran imperium Melayu Malaka itu, di abad berikutnya membentuk
kesultanan Islam seperti di Siak, Pontianak, Johor, dan lainnya.
termasuk wilayah kepulauan Riau. Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis
tahun 1511, Sultan Iskandar Syah dari Malaka mengungsi dan mendiami
Pulau Bintan dengan pusat kebudayaannya Tanjungpinang.
Sampai kemudian sekitar tahun 1513, wilayah melayu Jambi dan
Palembang dikuasai oleh Raden Patah dari Demak. Raden Patah membawa
pengaruh Jawanya, hingga sistem kesultanan Islam tumbuh di wilayah
“melayu” Sumatera ini hingga dekade berikutnya.
Bagaimana di Bangka Belitung? Wilayah Bangka terbentuk oleh dominasi
Kesultanan Palembang, setelah lepas dari Kesultanan Banten karena anak
perempuan Bupati Nusantara dari Banten yang menguasai Bangka menikah
dengan Sultan Palembang, Abdurrahman tahun 1659-1707. Dan Belitung pada
masa yang hampir sama dikuasai oleh Mataram yaitu Ki Gegedeh Yakob,
Cakraninggrat I tahun 1618-1661, setelah menikahi putri Ki Ronggo udo,
yaitu penguasa Belitung sebelumnya.
Bangka Belitung hingga kejatuhan Imprium Melayu Malaka tahun 1511,
masih belum didominasi budaya Islam artinya kerajaan Islam seperti Demak
tidak menancapkan kekuasaan di dua pulau ini. Dominasi politis setelah
Majapahit runtuh tahun 1478, masuklah pengaruh Islam di Bangka Belitung
dan membentuk sistem adat istiadat yang mengacu pada keIslaman. Masuknya
Islam di Bangka kita kenal misalnya Syech Abddurahman Sidik ulama
Banjar dari Kalimantan, masuk di wilayah Mendo Barat, beserta ulama
Islam yang lainnya.
Islam berpengaruh besar terhadap perkembangan kebudayaan Bangka
Belitung. Penghormatan terhadap Agama Islam oleh penganutnya dibuktikan
dengan rasa syukur yang begitu menonjol seperti kita lihat pada tradisi “
pesta lebaran” yang di rayakan secara sukacita baik hari raya Idul
fitri atau pun Idul adha. Sedangkan pada hari-hari menyangkut peringatan
Agama Islam seperti, Maulud Nabi juga di rayakan dengan “pesta lebaran”
serta juga digelar acara nganggung di tiap-tiap mesjid- mesjid hampir
di seluruh pulau Bangka. Tak hanya acara sakralnya bahkan acara karnaval
Islami pun digelar di Desa Kemuja, Mendo Barat. Begitupun pada acara
ruahan menjelang puasa, bahkan acara ritual kepercayaan guna menyambut
puasa di daerah tempilang justru digelar di pantai yang lebih terkenal
dengan acara “Perang Ketupat”.
Acara tradisi adat dan seremoni “pesta lebaran” memang memaknai
hubungan sosial yang tinggi dalam umat Islam di Bangka Belitung.
Belitung sendiri memiliki pengaruh tersendiri setelah Islam masuk.
Masuknya Islam di Belitung langsung menyentuh kepada sistem
pemerintahannya, yaitu raja pada masa itu seperti Ki Ronggo Udo dari
Geresik Jawa Timur kemudian menguasai Kerajaan Hindu Badau yang
sebelumnya di bawah Majapahit, Kyai Massud atau Ki Gegedeh Yakob yang
kemudian menjadi Raja Balok. Datuk Ahmad dari Pontianak yang kemudian
menjadi Ngabehi di wilayah Belantu. KA Siasip yang menjadi penghulu
Agama Islam pertama di Belitung. Serta sejumlah ulama seperti Syech
Abubakar Abdullah dari Pasai, dan lainnya. Ketika Islam menyentuh sistem
maka secara politis budaya tumbuh seiring dengan kebijakan terebut.
Pengaruh Islam cukup kuat di Belitung setelah penghulu agama Islam
berperan maka pengaruh kepercayaan perdukunan di tiap-tiap kampung di
seluruh Belitung juga berintegrasi dengan ajaran tersebut, akulturasi
tradisi kepercayaan dengan ajaran agama Islam menjadi cukup signifikan,
meskipun sistem ritual kepercayaan masih tetap dihormati sampai
sekarang. Misalnya tradisi selamatan kampung, acara syukuran pada anak
yang lahir, disambut dengan membaca doa islami dan pembacaan syair
marhaban.
Tetapi tradisi di keluarga raja menjadi sedikit berbeda dengan yang
di masyarakatnya, misalnya pada acara ritual syukuran selamatan
kelahiran anak, pada keluarga raja ada acara tradisi ritual “Tangga
Tebu” dengan mengedepankan simbolisasi kepercayaan sugestif yang dibawa
dari Budaya Raja-Raja Jawa. Namun bukan berarti Belitung adalah Jawanis,
itu hanya akuturasi yang muncul setelah kebijakan raja tertanam sekian
abad yang kemudian membentuk budaya sendiri di wilayah tersebut. Karena
itu juga gelar turunan keluarga raja di wilayah ini memiliki identitas
tersendiri dari wilayah kerajaan lainnya di Nusantara.
Islam memang identik dengan melayu setelah tumbuh dan berkembang
secara politis lewat kesultanan. Tapi pada budaya Bangka Belitung dengan
masyarakat mayoritas beragama Islam, ia tumbuh membentuk budaya Islami
tersendiri, seperti perkembangan tradisi ngganggung misalnya. Sedangkan
adat istiadatnya tidaklah melayu seutuhnya karena pengaruh kebijakan
raja, pemimpin wilayah, kepala suku, penghulu agamanya, serta tradisi
masyarakatnya telah membentuk adat-istiadat sendiri. Karena itulah
Bangka Belitung menjadi wilayah hukum adat pokok Bangka Belitung.
Bagaimana dengan bahasa dan adat istiadat melayu yang masuk Bangka
Belitung? Kedua aspek ini masuk dan membudaya di masyarakat Bangka
Belitung secara gradual lewat kedatangan penduduk dari beberapa wilayah
sekitar Bangka Belitung. Untuk wilayah Bangka geografisnya mudah dicapai
lewat laut dari daratan Sumatera maka penyebaran ragam penduduk lebih
dominan dari wilayah ini; Melayu tua dari Sriwijaya dan Jambi sudah
lebih awal mendiami Bangka, ini dibuktikan adanya Prasasti Kota Kapur.
Bahkan diperkiraan sebelumnya sudah adanya penduduk yang lebih tua lagi
seperti sudah mendiami wilayah Air Abik yang disebut sebagai suku Urang
Lom. Ragam masuknya penduduk ini membawa bahasa ibunya, maka tak aneh
jika Bangka memiliki kekayaan bahasa dengan fonetis yang beragam.
Misalnya Mentok yang fonetis bahasanya cenderung ke Bahasa
Semenanjung Malaya, karena kita mengenal wilayah ini banyak dipengaruhi
oleh Johor dan Siantan; setelah Sultan Mahmud Badaruddin mengungsi ke
Siantan. Dan kemudian Sultan Mahmud Badaruddin menyerahkan Mentok pada
Wan Akup dari Siantan, atas jasa bantuan angkatan perang Siantan untuk
menduduki Palembang yang di kuasai Ratu Anum Kamaruddin. Hanya bahasa
wilayah Belinyu kemiripan fonetisnya sama dengan Palembang. Dan wilayah
Bangka lainnya yang menjadi begitu beragam fonetikanya.
Belitung lebih dekat ke Kalimantan maka dominan bahasa penduduknya
lebih dekat pula dengan wilayah tersebut namun perbedaannya fonetikanya
tak begitu signifikan, bunyi bahasa itu hanya dibedakan cengkoknya saja.
Hingga irama dari fonetis bahasanya terdengar memiliki perbedaan
alunan, berbedaan ini misalnya bisa disimak pada bunyi bahasa asli
penduduk wilayah Sijuk dengan penduduk wilayah Belantu. Sedang wilayah
lainnya hampir sama dan tak ada perbedaan yang menonjol.
Berbedaan fonetika inilah dapat menunjukkan identitas pribadi serta
asal usul kelahirannya maka budaya setiap insan akan tercermin lewat
bahasa yang disebut dengan istilah budi-bahasanya. Budi dan bahasa
Bangka Belitung terkenal dengan budi yang ramah dengan diiringi bahasa
yang santun. Maka sampai kini pun, pada setiap kunjungan ke rumah-rumah
masyarakat adatnya, tamu akan mendapat pelayanan yang baik, keterbukaan
masyarakatnya menjadikan kedua wilayah ini memiliki aura budaya hingga
membuat para pendatang betah untuk tinggal dan menetap.
Sayangnya, Dominasi pendatang yang hanya sekedar menjadikan Bangka
Belitung sebagai ladang “matapenghidupan” selalu tak memperhatikan
budaya setempat hingga tak jarang ada benturan sosial yang berujung pada
pertikaian. Namun hal tersebut tidak selalu menjadi bahaya laten karena
budi dan bahasa masyarakat Bangka Belitung yang t
ercermin dalam karakter mereka selalu dapat bersikap moderat pada pendatang.
|
0 opmerkings:
Plaas 'n opmerking